Posted in Tak Berkategori

Aku Harus Bagaimana?!

stickitimage_1547576097647

Bukan aku tak lagi rindu
bukan aku tak lagi memiliki rasa itu
justru aku merasa lelah,
sebab ia kian menggebu

bukan aku tak lagi menunggu
bukan aku tak lagi berharap
justru aku merasa harus berpasrah,
sebab menunggumu yang tak kunjung terang membuatku kian sesak

maaf, aku memilih diam
maaf, aku memilih acuh
maaf, aku memilih tak peduli

ku tahu, bahwa kau mengetahui yg terjadi
menurutmu aku harus bagaimana?
menunggumu? mengharapkanmu?
sampai kapan?
apakah dengan begitu kaupun benar2 sedang berjuang? apakah dengan begitu kaupun akan benar2 datang?

Aku tidak tahu…
sulit ku tebak, sungguh sulit ku tebak.

akhirnya, jika memang kau ditakdirkan untukku, biarlah Allah yang akan menggerakan langkah kakimu menuju rumahku.
tapi jika tidak….
akhirnya semua yang ku lakukan, menjauh darimu adalah langkah yang tepat. Sehingga setidaknya tidak ada kesia-siaan atas rasa dan rindu yang tak seharusnya bersemi untukmu.

Dengan begitu, semoga setelahnya aku bisa berdamai dengan hati dan perasaanku. Dan bisa tetap menjaga tali persaudaraan seiman denganmu, saling mendoakan untuk kebaikan kita masing2 di hadapan Allah SWT. sebagai hamba yang sungguh tak mengetahui masa depan, sebagai hamba yang tak luput atas kesalahan.

Semoga kita bisa kembali tersenyum tulus dengan kebahagian dan takdir kita sendiri. 😊

Posted in Artikel, Opini

Apa Hikmah Dari Reuni 212?!

Sumber foto https://www.google.com/amp/kataindonesia.com/agenda-politis-terselubung-di-reuni-alumni-212/amp/
*tulisan ini murni menceritakan pengalaman, tidak ada unsur politik sama sekali, dan saya yakin reuni 212 juga tidak memfokuskan acara trsbt untuk kepentingan politik.

Assalamu’alaikum… 🙏 

Malam itu saya sempat ragu dan malas untuk ikut serta dalam Reuni bela islam 212. Entah kenapa, mungkin karena pada hari sabtunya saya menghadiri pernihakan teman yang dulu cukup dekat. Pada pagi harinya saya menghadiri akad dan malamnya saya-pun harus kondangan, dan karena teman dekat, saya merasa punya keharusan berlama-lama menghadiri resepsinya hingga pulang larut malam, sekitar pukul 11 malam. Niat untuk keesokan harinya hadir pada aksi reuni 212 pun sedikit tergoyah, “ah lelah sekali rasanya kalau besok harus bangun terlampau subuh untuk berangkat ke Monas.” begitu pikir saya. Tapi saya sudah janji dengan teman2 yang lain, merasa tidak enak jika dibatalkan. Kemudian sebelum saya tertidur, selama itu pula saya berfikir tentang niat saya menghadiri aksi fenomenal trsbut. Apa hanya karena ikut-ikutan, tak enak pada teman, atau hanya mengisi waktu luang? jika hanya sebatas itu, tak cukup rasanya motivasi saya untuk sampai ke lokasi aksi.

Belum mantap juga rasanya menemukan motivasi dan niat itu, sampai akhirnya saya tertidur, hanya ada kesepakatan pada diri sendiri bahwa “baiklah besok saya akan tetap ikut.” Lalu mengatur kembali waktu alrm agar bangun lebih awal dari biasanya. Terselip perasaan takut tidak terbangun tepat waktu, namun saya berserah diri pada Allah.

Alhamdulillah, saya pun terbangun oleh alrm–walaupun dibantu juga oleh dering telpon dari teman saya.

Setelah saya bersiap-siap, kemudian meminta ijin pada orangtua, dan berangkatlah kami berombongan. Selama perjalanan menuju stasiun saya masih mencari motivasi dan niat saya mengikuti aksi trsbut, yang akhirnya memunculkan pertanyaan2. Apakah acara ini berfaedah? apakah aksi ini positif? Apakah ini hanya sekedar berkumpul-kumpul saja? Apakah Allah ridho, senang, menyukai aksi ini?

Dengan pertanyaan2 yang masih bergelantungan di kepala saya itu, akhirnya niat itupun terucap dalam hati saya “Apapun tujuannya, apapun faedahnya, apapun manfaatnya, apapun dampaknya, Bismillah… ini karena Allah, saya berangkat karena Allah.”

Tak disangka, saya tercengang melihat berjubel-jubel manusia di dalam gerbong2 KRL dengan 99% mengenakan baju muslim dan muslimah yang dominan berwarna putih dan hitam, “Masya Allah!!” pujian itu terlontar berulang kali dari hati dan mulut saya. Belum lagi antrian panjang di depan loket Stasiun Rawa Buntu hingga berdesak-desakan hampir menutupi gerbang stasiun di sebelah kiri dan kanan loket. “Luar Biasa antusiasnya!”.

Belum sampai lokasi, saya dan rombongan muslimah sudah mendapati rezeki “Satu bungkus makanan ringan, Susu ultra dan biskuit (lupa merknya :D)” sangat lumayan untuk sarapan pagi. Dan sejak itu pula saya memendam rasa tidak enak hati pada satu teman muslimah saya. Pasalnya sebelum masuk gerbang, ia menitip pesan pada saya, bahwa jika mendapati makanan tolong ambilkan untuknya satu bagian, dikarenakan ia sebagai koordinasi rombongan akhwat harus membelikan tiket ke loket. Entah kenapa saya sungguhan lupa pada amanah itu, sangking takjubnya melihat ratusan orang di sana.

Akhirnya kami pun berangkat.

lokasi: Stasiun Tanah Abang
*jangan cari saya yang mana ya… 😛

Saya lupa waktu tepatnya tiba di stasiun Tanah Abang, namun saya kembali takjub melihat ratusan orang berjubel-jubel menuju pintu keluar. Satu lagi yang membuat saya semakin kagum, di lorong stasiun semua melantunkan sholawat bersama, “Masya Allah!” dan semua berjalan tertib.

Setelah Hampir 10-15 menit berjalan kaki dari stasiun Tanah Abang akhirnya kami sampai di tempat lokasi aksi. Lebih tepatnya kami hanya bisa sampai di luar pintu gerbang Monas, sebab badatnya jama’ah yang hadir. Itupun memerlukan perjuangan yang cukup berat untuk sampai ke pintu gerbangnya saja. Memaksakan diri menyelinap ke tengah-tengah kerumunan, perlahan tapi memaksa (hehe), ditambah terik matahari semakin menyengat ubun-ubun kepala, berdesakan membuat sesak dada dan sulit bernapas. Di sanalah saya melihat banyak kejadian yang membuat saya merasa kagum, bangga, salut bercampur takut.

Sampai lokasi rombongan kami berpencar, mencari posisi yang diinginan masing2. Saya bersama kedua teman saya memaksa ingin masuk area Monas, walaupun akhirnya hanya bisa sampai di depan gerbang saja. Tapi itu cukup bagi saya, sudah terdengar sayup2 para tokoh ulama dan aktivis dakwah yang menyampaikan orasinya di kejauhan panggung utama. Namun saya terfokus pada apa yang terjadi disekeliling saya.
Kami duduk di antara parkiran motor, tepatnya di depan posko ACT (aksi cepat tanggap). Banyak sekali jamaah yang keluar dari area Monas, dan yang juga ingin masuk ke area monas. Semua berdesak-desakan.

Hampir pukul 11 matahari semakin meninggi dan menyengat kepala. Banyak sekali Ibu-ibu yang kehabisan napas dan susah bernapas, untuk kemudian jatuh pingsan. Keriuhan semakin pekat. Para relawan ACT bergerak sigap dan cepat sekali. Tandu dikerahkan silih berganti berdatangan menjemput para korban kehabisan napas.

Relawan tak kehabisan akal untuk mencegah semakin banyaknya korban pingsan, maka dengan cerdik menyiramkan percikan air dari botol-botol air mineral, sebagian relawan juga menaiki motor2 atau mobil yang terparkir untuk membuat udara dengan mengibas-ngibaskan lembaran kardus di atas kepala para jamaah yang masih berdesakan berusaha keluar dari kepadatan lokasi. “Masya Allah!” lagi2 saya sungguh kagum dan salut melihat kejadian2 tersebut. Para relawan dan sebagian jama’ah yang begitu berhati mulia, mereka ikhlas melakukannya tanpa mengharap suatu apapun, hanya berharap aksi tersebut berjalan lebih baik sampai selesai. Hanya dalam acara-acara seperti inilah saya bisa melihat begitu besar persaudaraan yang tercipta. Kepedulian yang amat besar, dari hati2 yang mulia, tanpa merasa harus saling mengenal satu sama lain. Hanya Islam yang mampu melahirkan persaudaraan sebegitu Indah ini.

Belum lagi makanan-makanan yang dibagikan dengan cuma2, Masya Allah. Mereka khawatir jika saudara2nya belum sempat sarapan dari rumah, atau karena kelelahan dan kepanasan. Bahkan dari beberapa informasi sosial media, ada yang membagikan jaz hujan, dan handuk. Masya Allah. Tentu itu butuh biaya yang cukup besar. Membagikannya pun dengan cara yang begitu ramah. Mereka senang jika apa yang mereka bagikan habis tak tersisa. Masya Allah … hanya pahala yang mereka harapkan.

1-2 hari setelahnya, saya begitu banyak melihat hikmah dari aksi ini. Selain yang sudah saya paparkan di atas tentang persaudaraan indah, ada pula Salah satunya adalah mengenai bendera Rasulullah SAW– Al-Liwa dan Ar-Royah yang berkibar disetiap sudut kepadatan peserta aksi. Bendera yang dulunya sangat ditakuti, dicurigai, dihindari, di-judge bendera teroris, sampai akhirnya ada kelompok yang membakarnya, kini bendera itu Allah angkat derajatnya. Tidak ada lagi citra Buruk padanya. Semua orang menghormati dan mencintai bendera tersebut, terbukti dengan berbagai atribut yang dikenakan para peserta/jama’ah aksi, seperti bebat kepala berwarna hitam dan putih yang tertulis kalimat Tauhid dan topi yang di bordir kalimat Tauhid.

Tidak hanya itu, oleh sebab sosial media yang cepat sekali memberikan berbagai informasi kondisi saat aksi tersebut akhirnya saya menemukan sebuah vidio yang menunjukan satu fenomena alam– yang menurut saya itu tak wajar dan sungguh jarang terjadi, yaitu terbentuknya awan yang hampir menampakan Lafad “Allah” di langit Jakarta dan itu sungguh sangat terlihat jelas di area lokasi Aksi, seperti berada tepat di langit yang membawahi panggung utama, “Subhanallah walhamdulillah walaailahailallah wallahu akbar..”. –Vidio bisa di lihat / di cari di aplikasi Instagram.

001-Penampakan-lafadz-Allah-di-reuni-akbar-212-600x355
Ketika itulah saya sungguh tersentuh. Saya membayangkan, seandainya melihat langsung fonemena tersebut, betapa bahagianya melihat Kuasa Allah yang teramat Indah itu. Keragu-raguan dan pertanyaan2 yang muncul ketika saya dalam perjalanan keberangkatan, terjawab sudah. Karena dengan fonomena awan itu saya yakin, bahwa Allah hadir, Allah ridho, Allah menyukai hamba2nya yang berkumpul, berjamaah, melantunkan nama2 indahNya. Menyerukan kekuasaan dan kebesaranNya. Air mata inipun tak terbendung, merasa bersalah karena keragu-raguan. Maka saya mengatakan, bahwa saya Bangga telah menjadi bagian dari peserta/jama’ah aksi Reuni 212 2018, saya bahagaia berada di belakang barisan orang2 yang beriman dan membela Agama Allah di sana.

Semoga tidak berhenti di Tahun ini dan terus terselenggarakan di tahun2 yang akan datang. Karena Allah yang mempersatukan Hati orang2 yang beriman.

Allah SWT. berfirman:

وَاَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ ؕ لَوْ اَنْفَقْتَ مَا فِى الْاَرْضِ جَمِيْعًا مَّاۤ اَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ وَلٰـكِنَّ اللّٰهَ اَلَّفَ بَيْنَهُمْ ؕ اِنَّهٗ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
dan Dia (Allah) yang mempersatukan hati mereka (orang yang beriman). Walaupun kamu menginfakkan semua (kekayaan) yang berada di Bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sungguh, Dia Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.
[QS. Al-Anfal: Ayat 63]

* Via Al-Qur’an Indonesia: http://goo.gl/abm6jp
*terimakasih
*mohon koreksinya jika ada banyak kesalahan. 🙏

Wassalamu’alaikum…
#catatanhati #reuni212

Posted in Artikel, Cerpen

Potongan Kenangan

Screenshot_2018-07-24-23-03-36-1Dulu, setiap libur sekolah hingga libur kuliah, aku selalu pulang ke kampung halaman, Kp. Muruy Des. cikadongdong kec. cikausik Kab. Pandeglang Prov. Banten. Termasuk saat libur di bulan Ramadhan. Bertemu Ambu(almh.nenek). Biasanya, ketika sampai dirumah panggungnya, aku langsung menghambur masuk ke dapur, dan kudapati Ambu sedang nyirih, menyelonjorkan kaki di bale dapur, sendirian. Saat aku mengucap salam, lantas berdiri di hadapannya, menunggu reaksinya melihatku.
“Walaikumsalam..” Ambu menjawab salamku, suara terdengar pelan, memperhatikanku lamat-lamat. Wajahnya terlihat bingung, lantas bertanya, “Siapa ini?” matanya mengerjap-ngerjap.
Sontak aku tertawa menyeringai lebar, “Ini Ana, Mbu.” Aku meraih tangannya, mecium dan memeluknya. Faktor usia membuatnya semakin sulit mengenali orang-orang yang jarang ditemuinya, tanpa terkecuali aku.
Wajah bingung Ambu seketika berubah, menyadari cucu yang dulu diasuhnya selama hampir 7 tahun lebih telah pulang berkunjung. Gurat kebahagiaan bersemayam di wajah keriputnya.
Sore itu, kami habiskan waktu berdua dengan membuka bekal dan juga oleh-oleh yang kubawa.
Siang-malam saat kami hanya berdua, tidak ada sanak saudara yang berkunjung ke rumah panggung Ambu untuk menemuiku, Kami menghabiskan waktu dengan banyak bercerita. Bercerita masa lalu, masa kecilku. Ambu selalu bersemangat menceritakan bagaimana aku semasa kecil. Cerita itu tanpa bosan diceritakannya berulang kali setiap aku pulang menemuinya, dan aku tidak pernah bosan mendengarkan.
“Saat kamu kecil, belajar berjalan, menyeleser di sisi penyangga bale. Melihat Wak Ijah yang sedang memanen mentimun di kebunnya. Kebun itu tidak jauh dari rumah Ambu yang dulu,” Ambu mencomot pembicaraan masa kecilku-yang sebenarnya sudah sering ku dengar, “dengan suara ceprengmu, bicaramu belum jelas terdengar, kamu memanggil-manggil Wak Ijah, meminta memtimun itu darinya. ‘Njah nta… Njah ntaa..’ ‘Jah minta’ itu yang kamu ucapkan. Ambu yang sedang menyapu halaman dari guguran daun kering menerjemahkan kalimatmu ke Wak Ijah, dia tertawa, lantas membawakan beberapa timun ke hadapanmu.” Ambu terkekeh mengenang masa-masa itu. Akupun ikut tertawa, menyeringai lebar. Hangat sekali suasana saat-saat itu. Setelah cerita itu usai, Ambu akan loncat ke cerita masa lalu lainnya. Sementara aku lebih banyak mendengarkan, untuk sesekali tertawa, bertanya, mendengarkan kembali.
“Waah, hidup Ambu dulu sangat susah, Nak.” Kami berpindah topik cerita masa lalu. Sekarang Ambu akan menceritakan kisah hidupnya saat anak-anak tertuanya masih kecil, dan tentu Mamahku belum lahir ketika itu-apalagi aku. Aku semangat mendengarkan kalau Ambu menceritakan bagian ini, dan ya, tentu saja aku beberapa kali telah mendengarnya dari Ambu. Aku suka saja, tidak bosan.
“Dulu banyak gerombolan,” Ambu melanjutkan cerita. Aku tahu yang dimaksudnya gerombolan adalah penjajah, “Datang berduyun-duyun membawa mobil-mobil besar, membawa bedil,” bedil sebutan senapan tentara bagi orang-orang kampung. “Mereka semua berseragam. Menyerbu rumah-rumah warga, lantas membakarnya. Warga yang melawan, ditembaki tanpa ampun, dibunuh.” Aku semakin antusias mendengarkan. Lantas berfikir, usia Ambuku berarti sudah sangat panjang, dia merasakan dan mengalami masa-masa penjajahan. Aku tidak tahu persis, masa penjajahan jepang atau belanda yang dialaminya. Tentu Ambu tidak tahu tentang siapa dan dari mana datangnya orang-orang yang disebutnya gerombolan itu.
“Sebelum mereka mendatangi rumah Ambu, Ambu dan Abah bergegas pergi bersembunyi di jurang. Ambu pontang panting berlari sekuat tenaga, digendongan Ambu ada Nde Jarun yang masih sangat kecil.” Nde adalah sebutan paman bagi warga kampung pedalaman Banten. Jika aku tidak keliru, Nde Jarun adalah anak ambu yang ketiga. “Juga ada Nde Shole di tangan kanan Ambu. Menggenggam erat tangannya, seolah Ambu menyeretnya, membawa dia berlari sebisa mungkin,” Lanjut Ambu, sesekali Ambu meludah. Kebiasaan orang tua dulu yang senang nyirih, ludahnya berwarna merah. Sekilas terlihat seperti darah. Aku masih semangat menyimak, tanpa banyak bertanya atau berkomentar.
“Abah juga menyeret Nde Ni’in,” Adalah anak pertama Ambu dan Abah. Nde Sholeh adalah anak ke dua. Aku tahu Ambu memiliki 9 anak, dimana ketika itu baru lahir ketiga anak pertama yang semuanya laki-laki. “Ambu, Abah dan ketiga Nde-mu bersembunyi di jurang, tengah malam. Tidak begitu jauh dari letak rumah Ambu. Dan tentu Ambu masih bisa melihat dan mendengar kobaran api yang melahap rumah Ambu. Semalaman kami di bersembunyi, menjadi hidangan makan malam bagi nyamuk dan serangga lainnya.” Mata ambu menerawang jauh ke bilik rumah, mengenang masa itu. Hening sejenak, memperjelas suara jangkrik di kejauhan malam. Aku menghela napas, tersenyum takjub. Aku memilih tidak berkomentar, sebab aku sudah tahu bagaimana kelanjutan cerita itu. Tapi aku bertanya topik lain, tentang masa muda ambu, tentang pertemuannya dengan abah. Wah… pasti menyenangkan.
“Dulu mana ada sepeda motor…” Ambu tertawa mendengar pertanyaanku. Aku ikut tertawa, menopang dagu dengan kedua tangan, bersiap menyimak cerita ini.
“Dulu, hiburan bagi anak muda adalah pertunjukan golek…” Golek nama lain dari wayang. “Dan tari-tarian jaipong. Hanya itu” Ambu meludah lagi, berwarna merah darah (menyirih). Aku ber-ooh, mengangguk-ngangguk antusias.
“Saat ambu dan abah masih muda juga sempat melihat pertunjukan-pertunjukan itu dikampung-kampung yang lumayan jauh. Di kampung cibereum, pasir buntu, lumayan jauhlah. Dulu belum ada kendaraan bermesin. Perjalanan lebih banyak dilakukan dengan berjalan kaki…” Suara ambu terdengan sedikit bergemuruh karena bicara sambil mengunyah sirihnya yang mulai melebur halus di mulutnya.
“Lalu ambu dan Abah kesana berjalan kaki?” Aku memutuskan bertanya-habis ambu menjeda ceritanya agak lama, aku tidak sabar.
“Iya… Ambu dan abah tidak hanya berdua, tapi banyak pemuda-pemuda yang lainnya, berpasang-pasangan. Karena tidak ada kendaraan, jadi para laki-laki menggendong masing-masing pasangannya…” Ambu terkekeh mengenang masa-masa itu. Aku tak ketinggalan ikut tertawa yang sedari tadi sebenarnya tidak berhenti nyengir membayangkan masa muda Ambu.
“Menelusuri jalan setapak, malam-malam kami berjalan membuntut, berbaris seperti tawanan semut membawa sebutir bubuk makanan dipunggungnya…”
“Wah… Ambu digendong sampe ketmpat pertunjukannya, Mbu? kampung itu kan jauh sekali.” Aku semakin antusias bertanya.
“Iya, dan pulangnyapun sama…”
“Sosweet ya, Mbu…” Ambu tidak menanggapi. Aku rasa dia tidak mengerti ucapanku. Tentu saja.
Itulah potongan cerita kenangan yang mungkin tidak akan pernah hilang dari ingatanku. Ambu adalah ibu kedua bagiku, bahkan aku lebih dekat dengan Almarhumah… jasanya merawatku, tidak akan pernah terlupakan. Kasih sayangnya begitu besar. Aku merasa memdapatkan kasih sayangnya yang berbeda dari cucu-cucu yang lain. Entahlah… merasa spesial saja. hhehe…
Ada satu adegan lagi, yang begitu membekas. Ketika aku lulus SD. Orangtua-ku memutuskan membawaku ke tempat perantauan mereka untuk menlanjutkan sekolah menengah pertama.
ketika itulah, Ambu begitu berat mengiyakan keputusan itu. Pertimbangannya cukup panjang. Sampai akhirnya Ambu membolehkan.
Pagi hari, selepas pekerjaan rumah usai, Mama-ku memasak, menyiapkan sarapan, menyiapkan semua perlengkapan yang harus di bawa. kami bersiap akan berangkat. Aku menjulurkan tangan, menyalaminya, lantas memeluk, pamit pada Ambu. ketika itulah Ambu meneteskan air matanya, memelukku sekali lagi, lebih lama dan semakin tersedan. Teriris hati mendengan sedu sedan Ambu. Aku tidak mampu mengucap sepatah kata pun. Merasa bersalah akan meninggalkannya sendiri di rumah panggung itu. Tapi keputusan itu harus dilakukan, karena setiap anak berhak memiliki masa depan yang lebih baik. Tentunya Ambuku mengerti, meski berat hati melepaskan.
—-
Hari ini, dua tahun lebih Ambu telah pergi. Namun, kenangannya tidak akan pernah pergi. ketulusan merawat anak-cucunya takan bisa terganti. Ah, setiap kita akan berpulang, orang terkasih takan tinggal selamanya. Perpisahan selalu terjadi. Maka bagi kita yang masih diberi kesempatan belama-lama di dunia, dengan doalah cara terbaik menyampaikan Rindu pada mereka yang telah lebih dulu meninggalkan dunia. Dan semoga Allah yang Maha Sempurna, memberi kesempatan kita bertemu kembali bersama orang-orang terkasih di syurgaNya nanti. aamiin…
Cintai dan kasihi sepenuh hati orang-orang yang masih bersama kita. Sebelum tiba waktunya perpisahan yang tak mampu sedikitpun kita cegah. 😊

Posted in Tak Berkategori

Cerita Norak Bersama Toga

Cerita ini akan aku awali dengan sedikit berprasangka pada kalian yg akan bersedia membaca, bahwa mungkin kalian akan menyebutku “norak”.
Ya, bagaimana tidak? sampai detik ini, sejak hampir dua bulan yang lalu setelah aku resmi sebagai peserta wisuda, aku masih selalu mengenang, mengingat, membuka-buka galeri foto, tak terhitung berapa kali aku menatap setiap foto lantas tersenyum sendiri. Aku sungguh bahagia dapat menyelesaikan studi ini yang bahkan tak pernah sedikitpun terbayang di kepalaku sewaktu kecil hingga remajaku bahwa aku akan mampu menyelesaikan pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi, tak pernah terbayangkan aku akan menjadi salah satu alumni dari universitas hebat ini-benar, universitasnyalah yang hebat, bukan aku.
Satu hal lagi yang mungkin membuatku “Norak” adalah aku yang untuk pertama kalinya mengenakan toga. Aku yang tidak pernah merasakan mengenakan toga meski hanya untuk satu bingkai foto saja sejak TK, SD, SMP hingga SMA/MA yang kini membuatku amat Norak. Aku pun tidak begitu ingat kenapa aku tidak memiliki foto tersebut, hanya saja aku tau satu hal, bahwa mungkin karena sekolahku sederhana.
Aku teringat, dimana ketika aku menatap bingkai foto bocah kecil nan menggemaskan mengenakan baju toga di rumah salah satu saudara dan sahabatku, aku tak mampu menahan seringai setiap kali menatapnya lantas berfikir “kenapa dulu aku tidak memiliki foto seperti itu?”… pun sama ketika aku menatap beberapa foto saat SD, SMP, dan SMA nya… lagi2 aku hanya tersenyum mengetahui bahwa aku tidak demikian. 😊
Maka, Hari ini, tak apa jika aku terkesan Norak. Karena aku tau, hanya akan ada satu bingkai fotoku mengenakan toga dengan seringai bahagian di dinding ruang rumahku.
Oya, aku juga ingin sedikit bercerita kepada kalian, bahwa dulu aku pernah membuat Ibuku menangis.
kala itu, aku baru saja lulus dari Madrasah Aliyah, -sekolahku yang sangat sederhana dengan jumlah siswa kelas 12-nya hanya 20 orang 🙂
dan ketika itu aku sungguh bingung akan melanjutkan kemana. Aku yang memiliki karakter introvert, lebih suka diam, mendengarkan dan memperhatikan, menjadikan aku kesulitan dalam bergaul dan bersosialisasi. Aku jadi kerap merasa takut untuk mengenal lebih jauh tentang dunia baru, yakni dunia perkuliahan. Akupun sangat menyadari bahwa aku hanya perempuan biasa, tidak memiliki kecerdasan dan kepintaran seperti orang2 kebanyakan, maka aku pun tidak berekspektasi berlebihan dalam memilih universitas.
Bagiku melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi hanya sebagai memenuhi permintaan orangtua, maka apapun arahan yang mereka berikan akan selalu aku terima dengan senang hati. Pada awalnya orangtuaku memilihkan universitas swasta yang katanya memiliki biaya yang terjangkau, dengan sistem bayaran persemesternya perbulan. Ibuku yang paling berantusias mencarikan aku cara bagaimana mendaftar dan lain sebagainya ke universitas tersebut. hingga suatu hari ibuku mendapatkan folmulir dan brosurnya dan meberikannya padaku untuk segera ku isi.
Seingatku waktu itu aku pun telah mengisi folmulir tersebut, namun entah kenapa orangtuaku tidak segera mengantarkan aku dan menyerahkan folmulir tersebut ke universitas tujuanku. folmulir itupun hanya mengendap dalam beberpa waktu di lemari. Dalam tenggang waktu itupun aku akhirnya mengenal salah satu gadis anak tetangga satu desa, yang sebenarnya aku sudah mengenal dia hanya saja tidak terlalu dekat. Entah bagaimana, aku memutuskan untuk mengikuti jejak teman baruku tersebut untuk mendaftar diri ke salah satu universitas Islam negeri dengan mengikuti tes seleksi mandiri. Orangtuaku tentunya sangat mendukung dengan keputusanku tersebut yang dengan niat hanya ingin mencoba ikut tes seleksi saja, tidak berharap begitu besar untuk lolos..
Namun pada akhirnya, Allah memberikanku rizki untuk mengenyam pendidikan di universitas tersebut. Nah, ketika itulah, ketika dimana aku membaca pengumuman kelulusan peserta tes seleksi, untuk pertama kalinya aku melihat air mata menetes di kedua mata Ibuku dengan senyum bahagian di bibirnya sembari mencium pipiku. Itu benar-benar untukpertama kalinya. Akupun tak mampu berkata-kata, tertegun, melihat Ibuku sampai kikuk mengusap air matanya. Kalian tau bagaimana perasaanku saat itu? hhmm sungguh tidak mampu di jelaskan. :’)
Sampai saat ini, bahkan aku masih tidak menyadari bagaimana aku bisa lulus. Yang hanya aku tahu, bahwa Allah Maha Baik, Maha Pemurah. Itu saja. Saat kita memiliki niat yang tulus, terlebih itu untuk menyenangkan hati orangtua, maka Allah akan turun tangan dalam setiap urusan. Allah sepenuhnya tau kelemahan setiap hambaNya, maka kekuatan hati yang murni, ketulusan niat yang suci, akan mengundang kekuatan Allah sebagai penolongnya.
Bahkan sampai saat aku menjalani perkuliahan, tidak akan pernah berjalan baik jika aku tidak sepenuhnya meminta kekuatan dan pertolongan Allah. Tidak, aku tidak akan pernah percaya, bahwa aku menjalaninya dengan kemampuanku sendiri. Aku hanya memiliki satu niat, yaitu untuk Kedua orangtuaku. Dengan dibersamai tekad, memupuk semangat, mendorong keberanian, dan yang lebih besar adalah memohon pertolongan Allah.
Oleh karena itu, aku sangat-sangat menyadari bahwa semua perjuangan ini, hingga akhirnya aku sampai di titik mengenakan toga untuk pertama kalinya, semua karna kehendak dan takdir Allah, doa dan kasih sayang kedua orang tua. :’)
Alhamdulillah’alakulihal….
“Terimakasih Ma, Pak, aku tidak akan pernah bisa sampai pada titik ini jika tanpa dorongan, dukungan, doa, cinta dan kasihmu selama ini. Maaf jika aku belum bisa menjadi anak yang membanggakan dan membahagiakanmu, namun sungguh aku masih sangat membutuhkan cinta, kasih serta doamu hingga kapanpun. Semoga Allah memberiku kesempatan lebih lama lagi untuk menunaikan kewajiban baktiku kepadamu Ma, Pak.” Aamiin❤
Terimakasih teman-teman yang sudah bersedia membaca kisah kecil dan nora saya bersama Toga ini. 😆
satu hal yang mendorong saya menuliskan cerita ini, semoga sedikitnya dapat menginspirasi pembacanya -Kalaupun tidak juga tidak masalah hehe- bahwa sebanyak apapun kelemahan dan kekurangan kita, ketika kita punya niat yang tulus, tekad yang kuat, doa yang tak pernah putus… apapun dan dalam kondisi apapun Allah tidak akan pernah lengah, Allah tidak akan pernah membiarkan kita berjuang sendiri. PertolonganNya Akan selalu hadir di sela-sela lelah kita ketika berproses, akan selalu muncul tepat di tengah-tengah rasa keputus asaan kita ketika melewati rintang perjuangan.
Semangat berjuang menata masa depan yang lebih baik, kawan. 💪👍😊

*Demikian

*curhatrasasyukur😊

Posted in Opini

Review Singkat Novel Rindu – Tere Liye

PicsArt_03-31-10.06.04

Rindu, kata yang sudah sangat familiar di tengah2 kita. Bagaimana tidak, RIndu memiliki arti yang sangat dalam dan romantis, walaupun definisi rindu sebenarnya cukup komprehensif tapi siapa yang bisa mengelak bahwa kata Rindu sangat identik dengan perasaan atau kisah cinta.

“Apalah arti memiliki, ketika diri kami sendiri bukanlah milik kami?”
“Apalah arti kehilangan, ketika kami sebenarnya menemukan banyak saat kehilangan, dan sebaliknya, kehilangan banyak pula saat menemukan?”
“Apalah arti cinta, ketika kami menangis terluka atas perasaan yang seharusnya indah? bagaimana mungkin kami terduduk patah hati atas sesuatu yang seharusnya suci dan tidak menuntut apapun?”
“wahai, bukankah banyak kerinduan saat kami hendak melupakan? dan tidak terbilang keinginan melupakan saat kami dalam rindu? hingga rindu dan melupakan jaraknya setipis benang saja.”
Ini adalah kisah tentang masa lalu yang memilukan. Tentang kebencian kepada seseorang yang seharusnya disayangi. Tentang kehilangan kekasih hati. Tentang cinta sejati. Tentang kemunafikan. Lima kisah dalam sebuah perjalanan panjang kerinduan.

Demikianlah sepenggal sinopsi dari Buku yang berjudul “Rindu” karya penulis terkemuka di Indonesia, Tere Liye.
Jika kita membaca sinopsinya, mungkin kita akan mengira bahwa novel tersebut bergenre Romance, apalagi dengan judul yang sangat sensitif sekali dengan kisah percintaan. Namun, pada kenyataannya, novel ini bisa dikatakan hanya memuat sedikit sekali tentang kisah cinta. Karena pada garis besarnya Novel “Rindu” ini adalah novel sejarah perjalanan naik haji tahun 1938. Ada beberapa tokoh didalamnya yang masing-masing memiliki kisah hidup berbeda, bertemu dalam satu perjalanan panjang yakni menuju Mekkah untuk menunaikan ibadah haji.
Kisah tentang masa lalu yang memilukan di bawa oleh tokoh Bonda Upe, wanita berdarah cina yang telah mualaf dan berangkat haji bersama suaminya. Kisah kebencian kepada seorang ayah di bawa oleh tokoh Daeng Andipati. Seseorang yg bisa dikatakan saudagar sukses, berangkat haji bersama istri dan kedua putrinya Anna dan Elsa. Kisah selanjutnya tentang kehilangan kekasih hati ditokohi oleh Ambo Uleng, seorang pemuda berkulit hitam legam yang ikut serta dalam perjalanan haji hanya karena butuh pekerjaan, sebagai pelarian dari kisah cintanya yang menyakitkan. Selanjutnya, kisah tentang cinta sejati dibawa oleh pasangan sepuh, Mbah Kakung Selamet dan Mbah Kakung Putri. Terakhir, kisah kelima tentang kemunafikan dibawakan oleh tokoh Gurruta Ahmad Karaeng. Kelima kisah tersebut dibungkus dalam satu penceritaan panjang disebuah kapal menuju Tanah Suci dengan Kerinduan Pada Tuhan di hati masing-masing tokoh.

Kisah ini dimulai sejak keberangkatan jamaah haji dengan menggunakan Kapal BLITAR HOLLAND dari pelabuhan Makkasar. Oleh karnanya, penceritaan kisah novel ini sepenuhnya berada di dalam Kapal tersebut, walaupun ada beberapa latar tempat yang dijadikan persinggahan sementara kapal untuk menjemput jamaah haji dari beberapa pelabuhan kota.

Novel ini sudah barang tentu menjadi buku Best Seller -nya Tere Liye yang kesekian, dan tidak hanya itu Novel ini juga mendapatkan penghargaan “Buku Islam Terbaik Islamic Book Award 2015”.
sebuah karya tentunya selalu memiliki kekuranga dan kelebihan. Walaupun kita tahu, bahwa novel2 karya Tere Liye selalu laris manis, namun di dalam novel “Rindu” Ini saya nemenukan sedikit kekurangan, yakni penceritaanya yang agak membosankan karena latar tempat lebih banyak berada di kapal dan ada beberapa pola aktivitas yang diceritakan berulang-ulang. Hanya sedikit kelemahan atau kekurangan novel ini. Tapi lebih banyak kelebihan dan keunggulannya. Diantaranya, seperti yang kita ketahui (bagi pembaca setia Novel2 Tere Liye), bahwa Tere Liye begitu piawai dalam meramu cerita, rangkaian kata dan kalimatnya sangat ringan dibaca dan mudah dipahami. Tak ketinggalan, seperti pada novel2 karyanya yang lain, novel ini juga kaya akan nilai-nilai moral dan pesan2 yang penuh makna, membuat pembaca tertegun, mengangguk-angguk, tersenyum, mengehela napas, bahkan berkaca-kaca terharu saat membacanya.

Novel ini sangat rekomended sekali bagi teman2 yang belum membaca atau yang sedang mecari referensi bacaan buku berkualitas.

Oiya, ada salah satu teman saya, dia sebenarnya penggemar karya2 Tere Liye, tapi sampai saat ini masih enggan membaca Novel ini dengan alasan Halaman-nya yang terlalu tebal. Memang benar, Hal. Novel ini 544 Hal. Hmm.. menurut saya setebal apapun sebuah novel, tetap menyenangkan saat membacanya, berbeda dengan buku2 non-fiksi, ckck.. Novel ini di terbitkan oleh Republika Penerbit pada tahun 2014 dan sudah melalui percetakan yang ke 44 kali sampai tahun 2018 ini.

Demikianlah, sedikit Review novel “Rindu”. Semoga sedikitnya bisa bermanfaat. Niat review sih sudah lama sekali, tapi baru terealisasikan sekarang hehe.. (ampun deh😑)___ jika ada kekeliruan mohon diluruskan, maklum masih belajar. Jika ada kesalahan ketik atau typo juga mohon dimaafkan ya. Dan satu lagi, maaf fotonya sedikit narsis, hihi…

Terimakasih 😊

Posted in Cerpen

Kenangan’Cicilalang’

Hampir setengah bulan berlalu pengabdian kami telah berjalan lancar macam jalan tol. Suasan kekeluargaan warga Kampung Prayoga membuat aku dan ke sepuluh teman kelompok merasa begitu menikmati ajang pengabdian dalam program yang sudah tidak asing lagi bagi mahasiswa semester tujuh ini.
Pagi ini langit begitu cerah, secerah penduduk Indonesia yang akan segera riuh memperingati hari kemerdekaan Negara tercintanya, HUT RI 17 Agustus ke 70. Sejak pagi sekali aku dan ketiga teman perempuan ku, telah sibuk mempersiapkan semua keperluan perlombaan. Anak-anak didik program BIMBEL kami telah berkerumun di depan rumah sewaan kami. Mereka sangan berantuasias, sebab pagi ini tepat pukul 8 pagi, rencana pembuakaan acara akan kami awali dengan karnaval anak-anak usia dini hingga SMP.
Acara karnaval berkeliling kampung berjalan lancar, meski ada sedikit kesulitan, salah satunya sulit mengatur anak-anak yang amat berantusias, menjaga anak-anak yang baru berusia 5 sampai 6 tahun. Aku bahkan berkali-kali berteriak “jangan lari-lari jalannya!! Pelan-pelan aja!” tidak ada yang memeprdulikan teriakanku. Belum lagi, bocah berusia 5 tahun dengan mengenakan baju tradisional yang amat lucu dan menggemaskan, tengah aku genggam erat-erat pergelangan tangannya agar tidak terlepas, sebab sang ibu telah mengamanahkannya kepadaku. Nyanyian 17 agustus tahun ’45, bergema disepanjang jalan perkampungan, diiringi musik marawis membuatnya terdengar lucu, berdendang. Bahkan yang tidak kalah lucunya, sesekali mereka menyanyikan lagu “cicilalang”, itu membuat suasana karnaval amat mengesankan. Kibaran bendera kecil yang telah aku dan teman-teman buat, berkibar-kibar dalam genggaman semangat anak-anak.
“CICILALANG!!!!!” teriak salah satu peserta karnaval.
“EEY!!” Serempak anak-anak lain menimpali.
“Sosorodotan!!!”
“EYYY!!” Begitu terus sepanjang perjalanan.
Selesai. Saatnya bersiap kembali menunggu perlombaa-perlombaan yang akan segera dimulai. Peserta perlombaan semakin siang semakin bertambah.

 

Tamat.

#gantung 😅

Posted in Opini

Identitas Muslimah

PhotoGrid_1500573841674

Sungguh senang rasanya melihat perkembangan hijab semakin banyak diterima oleh kalangan muslimah. Artis-artis mulai satu persatu mengenakannya. Kalangan remaja juga semakin banyak yang mengenakan hijab, orang-orang yang bekerja di kantor perlahan-lahan mulai mengenakannya. Ditambah perkembangan hijab syar’i sekarang juga semakin hari semakin berkembang baik, banyak dikenal orang-orang. ALHAMDULILLAH.. saya kadang jadi berfikir, tentang tanda-tanda akhir zaman. Bahwa kelak islam akan kembali berjaya, bersatu seperti pada zamannya Rasulullah SAW. Maka mungkin perkembangan hijab ini juga salah satu kemajuan Dakwah Islam. Masya Allah.

Kembali kepada hijab.
Saudariku, hijab adalah identitas kita sebagai wanita muslimah. Saya punya cerita dari salah satu sahabat sholihah.
Kala itu, sahabat saya tengah melakuka  perjalanan menuju suatu tempat (saya lupa tujuan persisnya). Ia sedang berada di commuterline, berangkat sendiri. Alhamdulillah mendapat tempat duduk. Kemudian, ada seorang wanita yang duduk di sampingnya. Terjadilah perkenalan dan percakapan mengenai beberapa hal. Sahabat saya ini disuguhkan dengan beberapa pertanyaan, mungkin sekilas tentang kasus sosial atau apa ya saya agak lupa, pokoknya ngobrolin sesuatulah gitu. Nah, si wanita ini kebetulan se-inget saya sama-sama mahasiswi, dan dia tidak mengenakan hijab. Percakapan semakin akrab, sampai akhirnya saling bertukar No. Hp.
Tidak lama kemudian mereka berpisah karena tujuan masing-masing. Tapi dengan adanya kontak itu, mereka bisa saling kembali menyambung percakapan dan silaturrahmi, meskipun hanya lewat gadget.
Suatu hari, shabat sholihah saya ini akan menghadiri sebuah kajian Islam yang biasa di lakukannya dan berinisiatif untuk mengajak teman kenalannya tersebut.
“Mba, mau ikut kajian gak?”Dia mengirimkan pesan. Namu apa yang terjadi? Sahabat saya terkejut dengan balasan yang diterimanya, yang berisi pesan seperti ini “Maaf mba, bukannya yang bukan muslim tidak boleh ikut?”.
Ya. Terjawablah, bahwa teman kenalannya itu bukan beragama islam. Kita hanya bisa menebak seorang perempuan beragama islam atau bukan itu dengan hijabnya. Kecuali yang beretnis tionghoa ya, mereka biasanya terlihat dari ciri-ciri fisik, mata sipit, kulit putih. Bahkan mereka yang mualaf pun sudah langsung mengenakan hijab, bukan hanya agar bisa dikenali ia muslimah tapi utamanya karena perintah.

Jadi kesimpulannya, memang benar bahwa hijab adalah identitas kita sebagai umat muslim. Bahkan  yang paling terpenting adalah Allah sudah mewajibkan hal tersbut di dalam firmanNya (Q.s An-Nur : 31 & Q.s Al-Ahzab : 59). Maka, bukan hanya identitas tapi kejawiban. Harus, kudu, wajib hukumnya untk menutup aurat ketika ia telah baligh. konsekuensi ketika kita telah bersyahadat.

Satu hal yang sangat penting. Arti menutup aurat ini tidak sembarangan. Menutup ya, bukan membalut. Karena keduanya memiliki arti yang berbeda.  Kita jangan sampai salah mengambil langkah.
Menutup aurat adalah menutup seluruh bagian tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Menutup aurat adalah tidak menampakan bentuk atau lekuk tubuh. Jadi kalau sudah berhijab tapi masih menampakan lekuk tubuh, misalnya masih mengenakan jelanan jeans yang ketat dan mengenakan baju yang ketak, kemudian hijabnya juga tipis tidak menjulur keseluruh bagian dada, itu belum dikatakan menutup aurat masih sebatas membalut. Dan yang lebih baiknya lagi adalah menutup aurat sesuai dengan tuntunan Syari’at Islam, yang mana kerudung menjulur menutupi  seluruh bagian dada dan mengenakn jilbab yaitu baju terusan  atau bisa kita kenal sekarang adalah gamis. Kemudian jangan lupa mengenakan kaos kaki. Inilah yang dikatakan berhijab syar’i. Tapi selama masih tidak ketat dan tidak membentuk lekuk tubuh, sebagian tokoh dakwah membolehkan mengenakan pakaian yang potongan. Misalnya, rok yang longgar, tidak transparan, baju potongan dengan lengan panjang dan panjang bajunya menutup sampai ke bagian lutut atau paha, tidak tranparan serta mengenakan kerudung yang juga tidak tranparan dan menjulur ke seluruh bagian dadanya. usahakan kesemuanya tidak transparan/nerawang dan longgar, tidak ketak.

Satu lagi yang mungkin masih terspelekan bagi kita yang masih berproses, saya pun masih berproses. Jangan lepas pasang. Berusahalah istiqomah.
Ketika akan bepergian, keluar rumah, terlebih lagi ketempat yang mungkin akan banyak menemukan laki-laki yang bukan mahrom, tetaplah menutup aurat. Hijab bukan sekedar trend, mode belaka. Dia adalah perintah dari yang telah menciptakan kita yakni Allah swt.

Insya Allah ketika kita meyakini itu kemudian memperbaiki niat, pahala akan sesantiasa kita peroleh dan terhindar dari dosa. Ditambah lagi perlindungan Allah akan senantiasa mengiringi perjalanan dan aktivitas kita di luar.

baiklah saudariku, semoga tulisan ini tidak termaksud menggurui, hanya berbagi dan sebagai pengingat diri sendiri. karena selain Hijab mulai berkembang banyak, tapi tidak sedikit dari kita yang masih menyepelekan atau belum terketuk hatinya untuk melaksanakan kewajiban ini. Dan  yang alhamdulillah sudah melangkah ke jenjang berproses, semoga Allah senantiasa membimbing kita untuk melangkah ke tahap-tahap yang lebih dekat dengan islam dan tentunya dengan Allah SWT pemilik alam jagat raya ini serta penggenggam Hati ini.
wallahu ‘alam..

(mohon maaf bila banyak kekeliruan dan silahkan diluruskan. sangat menampung kritik dan saran. kita sama-sama belajar dan penulisnya masih butuh belajar serta bimbingan)

Posted in Opini

Dakwah Unik

kalo kita liat sekarang-sekarang ini, dakwah mulai bermunculan dengan cara yang berbeda dan unik-unik. tentu saja harus berbeda, karna sasarannya bukan lagi hanya orang-orang usia senja. melainkan target utamanya adalah anak muda, terutama anak muda yang enggan banget buat mengenal islam lebih dekat.

ustad Hanan attaki, sekarang sedang berada dipuncang keberhasilannya memikat hati para pemuda. caranya berdakwah dan menyampaikan risalah islam begitu berbeda. kalo bahasa anak mudanya “ngena banget ke hati” #jieh mudah dipahamin dan tidak membosankan, terlebih lagi gak bikin “nunutan, mun cek orang sunda mah” alias ngantuk.

Ada lagi yang sangat berbeda menurut saya, yaitu Tere Liye ckck.. terlebi-gitu  juga beliau berdakwah loh.. dan sasarannya remaja-remaja yang tengah ABG labil gitu. tapi ngena juga sama yang beranjak-beranjak dewasalah.. 😉

kalo kita liat dari setiap tulisan2nya beliau selalu mengarah pada kebenaran, kebaikan, prinsip agama, prinsip hidup yang baaaik sekali.. tapi beliau menyampaikan dengan gaya bahasa dan sudut pandang yang mudah di pahami oleh anak-anak remaja. salut pol deh..

belum lagi pemuda dan pemudi yang sholeh dan sholehah sekarang ini cerdas-cerdas. banyak bermunculan dakwah-dakwah di media sosial, IG, Youtobe, FB, tumblr, wahh banyak deh pokoknya, dan semuanya keren, dikemas dengan sebegitu uniknya. ada yang dikolaborasikan dengan potonga  film korea, ada yang dengan potongan adegan-adegan keseharian, ada juga yang dengan tingkah-tingkah lucu tapi isinya selalu mengandung nasihat agama, mengajak pada kebenaran dan kebaikan. Masya Allah kreatif banget..

nah, jdi dakwah itu bisa lewat apapun dan dengan cara apapun yah. jangan  takut menyampaikan kebenaran yang sudah kita tahu, jangan pelit berbagi walau hanya satu ayat. hehe.. itu yang saya dapet dari salah satu pemudi hijrah kece.
Dan satu lagi nih yang gak kalah penting, jangan nyeleneh, menyepelekan, meremehkan, atau nyinyir sama orang yang udah mau berbagi ilmunya walaupun itu cuma sedikit. jangan katakan “alah sok alim loe. baru tau segitu aja udah berani nyeramahin” misalnya itu ya hehhe… jangan lihat siapa yang menyampaikan tapi dengar apa yang di sampaikan. 😉

kira-kira siapa lagi yah yang tengah menonjol di dunia dakwah? 

Kamu? 🙂

Posted in Artikel

Seberat Sebelah Sayap Nyamu-pun, Tidak.

Screenshot_2017-08-05-20-33-38-1

“Jika dunia ini berharga dimata Allah, meski hanya seberat sebelah sayap nyamuk, maka tidak akan Allah berikan sedikitpun kepada orang2 kafir (yang tidak beriman kepada Allah). Semuanya hanya untuk mereka yang beriman dan beramal sholih, yang cinta kepada Allah.

Bayangkan, seberapa berat sih sebelah sayap nyamuk? Bahkan tidak berat sama sekali kan. Begitulah dunia di mata Allah, tidak ada harganya. Maka jangalah bersedih ketika Allah sedikit sekali memberikan harta dunia kepada seseorang, dan jangan heran jika sering kali melihat orang2 yang tidak beriman memiliki harta yang melimpah, kekayaan-kekayaan dunia lainnya. Karena dunia tidak berharga di mata Allah.

Alasan lainnya kenapa Allah tidak memberikan kemudahan harta dunia kepada seorang mukmin yang taat dan sholeh, sebab Allah takut, jika dengan kekayaan dunia itu dia bisa lalai dan berpaling dari Allah.

Allah khawatir sekali hamba-hambanya yang taat tidak menggunakan harta itu di jalan Allah, lalai dengan kenikmatan dunia. Kecuali bagi mukmin kaya yang senantiasa dermawan, mengamalkan hartanya di jalan kebaikan dan membuat bertambah ketaatannya kepada Allah. Maka Allah pun akan senantiasa mempermudah segala urusan.
Bagi kita yang mungkin masih merasa sulit memperoleh rezeki dalam katergori harta, berhusnudzonlah bahwa Allah masih khawatir terhadap keimanan dan ketaatan kita. Oleh karena itu terus berusaha, berdoa dan senantiasa selalu dekat dengan Allah.”
Wallahu alam..

Sepenggal tausiyah@ustad_Hanan_attaki

Posted in Cerpen

Semangat ’45 Bro!


“Yo Yo Yo..!!! semangat semangaat!!” Patih bertepuk-tepuk tangan seraya berseru-seru semangat kepada keenam anggota kelompoknya. Mereka telah berkumpul ditengah lapangan yang juga telah dipenuhi para penonton. Dua pohon pinang yang telah berdiri tegak menjulang tinggi kisaran 9 meter lengkap dengan hadiah yang telah bergelantungan di ujung puncaknya. Patih, Darwis, Rendi, Umam, Sandi, dan Halim mereka adalah sekelompok mahasiswa yang tengah menjalani program dari kampusnya, mengabdi selama satu bulan penuh di kampung pedalaman. Bisa dikatakan untuk pertama kalinya mereka mengikuti perlombaan panjat pinang, biasanya dalam acara peringatan HUT RI sebelum-sebelumnya mereka hanya bersedia menjadi penyelenggaran. Tapi untuk kali ini, dengan antusias dan dorongan warga tempat mereka mengabdi, dengan niat sekedar menghibur, akhirnya mereka bersedia meskipun sedikit terpaksa.

“Cowok-cowok Kereen!!!!!” Teriak Patih saat mereka menumpuk telapak tangan satu sama lain.

“SEMANGAAAT!!” Timpal yang lain sambil terkekeh geli, membanting tumpukan telapak tangan ke udara.

Sekarang mereka telah bersiap untuk mulai memanjat setelah lima menit menunggu giliran dari kelompok pemuda warga kampung setempat. Sistem perlombaan panjat pinang ini sedikit berbeda, satu pohon Pinang ada tiga kelompok yang memperebutkan hadiahnya. Setiap kelompok diberi waktu 5 menit untuk memanjat. Ini saatnya giliran jagoan-jagoan mahasiswa itu. Mereka tidak ada yang bertelanjang dada, alih-alih malu. Jika tidak, bagaimana reaksi para gadis.

“Oke. Siapa yang dibawah?” Ujar Darwis.

“Patih! Badanmu gede.” Umam menunjuk. Matahari tengah terik-teriknya. Panas menusuk kulit.

“Ah, kau sajalah Wis. Badanmu lebih kekar”

“Ah tidak tidak, kau saja.”

“Eeeh! Sudah sudah. Ini kapan kita manjatnya. Patih kau yang dibawah. Dari tadi kan kau yang paling bersemangat. Ayo.” Rendi menengahi. Memang benar, diantara mereka yang bertubuh paling tinggi dan berisi adalah Patih. Dia terkepung, 5 lawan satu. Mau tidak mau dia harus setuju dan mulai berjongkok, bersiap menghadap Pohon pinang.

“Halim, naik!” Seru Rendi.

“Hah?! Aku?” Halim terperanjat. Bingung. Sedari tadi dia diam. Benar-benar untuk pertama kalinya anak yang berkepribadian lembut ini mengikuti lomba panjat pinang. Tidak ada pengalaman sama sekali.

“Iya, kau. Cepatlah. Kenapa pula wajahmu pucat. Haha..” Rendi menggoda.

“Bagimana? A-aku naik dari mana?” Halim semakin bingung.

“Naiklah kebahukku. Ah, kau ini lama sekali” Seru Patih yang sejak tadi sudah jongkok menghadap tiang, tidak sabar. Halim takut-takut mendekat, mulai mengangkat kaki sebelah kanannya. Paha sebelah kanannya telah mendarat di bahu Patih, terhenti oleh seruan Darwis.

“Heh! Bukan begitu. Diinjak Halim, diinjak. Kau kira mau naik kuda-kudaan. Haha…” Darwis terpingkal melihat posisi Halim yang hendak duduk di bahu Patih. Semua orang tertawa. Patih meski sedikit kesal tapi dia tidak bisa menahan tawanya.

“Sudah sudah. Darwis, kau saja duluan. Halim, turun. Macam mana pula kau ini..” Rendi berseru sambil menahan tawa.

Darwis sempurna mendaratkan pijakan kakinya di bahu Patih. Patih sekuat tenaga mengangkat tubuh Darwis, mulai berdiri. Di sebelahnya, Halim menopang pijakan kaki Rendi. Keputusan yang baik, menugaskan Halim sebagai penopang untuk yang lain memanjat urutan ketiga dan seterusnya. Rendi telah berada diurutan ketiga, paling atas. Tinggal menunggu Sandi yang sekarang tengah berjuang memanjat. Tubuh Patih membongkok, wajahnya meringis kesakitan. Semakin membongkok, semakin membongkok dan sempurna jongkok tidak kuat menahan beban empat tubuh. Sroooooot.. gagal.

Waktu tersisa satu menit. Mereka tergeletak di tanah berlumpur yang bercampur oli, licin. Semua terengah. Hanya Umam yang belum sempat memanjat.

Priiiit… panitia meniup peluit tanda waktu telah habis. Kelompok pemuda lain telah bersiap. Mereka lihai memanjat. Tapi gagal juga mencapai puncak, karena siraman air dan lumpur terus mengguyur, belum lagi dengan waktu yang terbatas membuat kecemasan peserta. Pohon pinang semakin licin. Lima menit kemudia telah berlalu, kelompok mereka kembali mendapat giliran.

“Oke. Begini, posisiku paling bawah, kemudian kau Patih. Naiklah kepundakku dan jongkok saja, setelah itu Umam naik dan berdiri.” Mereka merkerumun merencanakan strategi, Rendi serius sekali menatap satu persatu teman-temanya ” Halim tetap di bawah, Sandi naik ke pundak Halim. Patih peluk erat-erat tiangnya dan Kau sandi injak tangan Patih terus sampai naik ke pundak Umam. Oke, mengerti!” Rendi mantap merancang rencana, yang lain mengangguk-angguk saja. Tiba-tiba ada teriakan dari kerumunan penonton.

“WOYY.. jangan kebanyakan teori. Ini bukan kampus. Haha…” Tidaklah lain dialah Selly, teman kelompok mereka yang juga mengabdi bersama, yang sedari tadi berseru-seru menyemangati.

“Segala sesuatunya harus ada rencana Sell.” Timpal Rendi mengepalkan tangan sedikit berteriak, bak seorang pahlawan yang tengah berjuang di medan peperangan, semakin semangat.

“Cepat mulai. Waktu kalian hampir habis!!” Ruli yang juga teman kelompok mereka, sejak tadi berdiri disamping Selly berseru memperingati.

“Oiya!! Cepat cepat!! Semangat ’45 Bro!” Rendi dan teman-temannya kelabakan menyadari waktu terus berjalan sejak tadi, sudah berlalu hampir satu menit.

Mereka mulai melakukan rencana yang telah disusun. Gerakan mereka semakin serius dan lebih gesit, berbeda dari sebelumnya. Satu persatu berhasih mengambil bagian tugasnya. Berdiri sekuat tenaga, memeluk erat pohon Pinang sekencang-kencangnya. Mata terpejam, wajah meringis dan Yes! Tidak lama kemudia Sandi berhasil mencapai bahu Umam. Dia berdiri tegak. Rendi berusaha menahan pijakannya, memeluk Pohon Pinang lebih erat, matanya semakin terpejam. Sandi menggapai-gapai palang puncang Pohon Pinang berkali-kali. Sedikit lagi. Dan, Horeeee!!! Sandi berhasil beraih palang puncaknya, berangsur naik, terus naik dan akhirnya sampai sempurna duduk disana. Dia mulai mecabut bendera yang tertancap, dan semangat mengibarkannya diketinggian 9  meter. Penonton bersorak sorai, terlebih Selly dan Ruli, sejak tadi mereka tidak berhenti tepuk tangan dengan wajah sumringah.

“Huhf.. apa kubilang. Segala sesuatunya perlu rencana.” ujar Rendi berbangga diri.

“Yeah!! Dan satu lagi Bro..” Patih menatap satu persatu teman-temannya yang tengah santai duduk di tanah berlumpur. “Kerja keras, Kerja sama dan percaya diri!!” lanjutnya, mengepalkan tangan. Yang lain terkekeh, manggut-manggut sepersetujuan.

“Itu bukan satu Bro, tapi tiga..” Celetuk Darwis. Semua terbahak.

The End